Para peminat kursi
PNS sudah bisa
mulai mempersiapkan diri. Akhir Juni mendatang, pendaftaran seleksi
CPNS
tahun 2014 sudah dibuka. Jumlah lowongan sekitar 100 ribu kursi.
Rinciannya, 60 ribu untuk
CPNS dan 40 ribu Pegawai Pemerintah dengan
Perjanjian Kerja (PPPK). Karo Humas dan Protokol Badan Kepegawaian Negara (BKN) Tumpak
Hutabarat menjelaskan, untuk proses pendaftaran, mulai tahun ini para
pelamar tidak perlu berbondong-bondong menyerahkan berkas lamaran ke
panitia. Namun, pendaftaran menggunakan sistem elektronik atau
online.
Prosedur dan teknisnya, bisa membuka situs resmi Badan Kepegawaian Negara (BKN), yakni
sscn.bkn.go.id.
“Jadi sistem rekrutmen sekarang diarahkan pada sistem elektronik agar
lebih hemat waktu dan anggaran,” ujar Kepala Biro Humas dan Protokol
Badan Kepegawaian Negara (BKN) Tumpak Hutabarat kepada wartawan, kemarin
(5/5).
Nah, khusus untuk daerah-daerah terpencil yang masih ada
kendala soal jaringan internet, para pelamar masih bisa menggunakan cara
lama, yakni menyerahkan berkas lamaran ke masing-masing kantor Badan
Kepegawaian Daerah (BKD). Oleh BKD, data pelamar akan diteruskan ke
alamat
sscn.bkn.go.id.
Nantinya, sistem tes akan menggunakan
computer assisted test
(CAT) untuk seluruh instansi, tanpa kecuali. Pihak Panitia sudah
mempersiapkan sekitar 400-an lokasi tes dengan perangkat CAT, yang
tersebar di sejumlah daerah.
Sebelumnya, Sekretaris Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi (Sesmen PAN-RB) Tasdik Kinanto sudah menjelaskan,
tahun ini akan dilakukan rekrutmen sekitar 100 ribu. Rinciannya, 60 ribu
untuk
CPNS dan 40 ribu PPPK.
Mengingat waktu seleksi masih panjang, Tasdik meminta para calon
peserta sudah mulai mempersiapkan diri, dengan belajar wawasan
kebangsaan, pengetahuan umum dan psikotes.
Bagi honorer K-2 yang gagal tes
CPNS 2013, juga boleh ikut tes untuk mengisi lowongan PPPK.
Untuk formasi masing-masing daerah, pemda yang mengusulkan dengan
melampirkan analisis jabatan kerja dan analisa beban kerja. Porsi
belanja pegawai juga menentukan. “Kami tidak akan memberikan formasi
bagi daerah yang belanja pegawainya sudah di atas 50 persen. Ini sudah
harga mati karena kasihan masyarakat nanti kalau tidak ada pembangunan,”
tegas Tasdik.
Khusus pelamar PPPK, usianya boleh di atas 35. Sedang untuk
CPNS,
tetap dibatasi maksimal usia 35 tahun. “Kalau melamar
CPNS usia
maksimalnya 35 tahun, PPPK tidak. Di atas 35 tahun pun bisa asalkan
punya kompetensi,” ungkap Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi (WamenPAN-RB) Eko Prasojo di Jakarta, Senin
(5/5).
Dijelaskannya, untuk menjadi PPPK harus dites seperti
CPNS. Tes
menjadi syarat utama karena sistem penerimaan ASN kini bukan lagi
single track tapi
double track.
“Jalurnya ada dua, jadi silakan yang mau pilih jalur PPPK atau
CPNS.
Keduanya sama-sama harus lewat tes karena tunjangan yang diterima sama.
PPPK juga mendapatkan pensiun yang dimasukkan dalam sistem jaminan
sosial nasional,” terangnya.
Tolak Pengunduran Diri
Di sisi lain, sejumlah PNS mengajukan uji materi (
judicial review)
ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pasal 119 dan 123 ayat 3
Undang-Undang (UU) Nomor 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).
Kedua pasal tersebut dinilai diskriminatif dan mengkebiri hak PNS untuk
ikut mencalonkan diri sebagai presiden, kepala daerah, dan anggota
legislatif. Alasannya, PNS wajib untuk mengundurkan diri saat
mencalonkan dirinya untuk menempati jabatan-jabatan negara tersebut.
Juru bicara pemohon Rahman Hadi mengatakan bahwa ketentuan di kedua
pasal tersebut sangat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945
Pasal 27 ayat 1 yang mengatur tentang kesamaan kedudukan warga negara
dalam hukum dan pemerintahan. Selain itu, pasal tersebut juga
bertentangan dengan konstitusi Pasal 28D Ayat 3 yang menyatakan semua
warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
“Syarat pengunduran diri bagi
PNS sejak mendaftar sebagai calon
merupakan ironi yang memiriskan. Ini bentuk pengamputasian hak
konstitusional
PNS sebagai warga negara,” kata Rahman di Gedung MK,
kemarin (5/5).
Lebih lanjut, Rahman mengatakan bahwa Pasal 119 dan 123 Ayat 3 juga
tidak konsisten terhadap UU ASN Pasal 121 yang mengatakan pegawai ASN
dapat menjadi pejabat negara. Selain itu, juga dinilai bertolak belakang
dengan UU ASN Pasal 123 Ayat 1 yang mengatakan bahwa pegawai ASN yang
diangkat menjadi pejabat negara maka diberhentikan sementara dari
jabatannya, namun tidak kehilangan statusnya sebagai
PNS.
”Pasal 119 dan 123 Ayat 3 menunjukkan inkonsistensi, bias, dan
ambiguitas dengan idealisme mewujudkan ASN sebagaimana yang diharapkan.
Maka itu, kami melihatnya sebagai sebuah paradoks, di satu sisi ada
keinginan untuk meningkatkan kualitas dan kapasitas
PNS, di sisi lain
PNS dikebiri dan dibatasi haknya ke level yang lebih tinggi dan
strategis,” tutur Rahman.
Menurut dia, akibat dari diberlakukannya pasal-pasal tersebut adalah
PNS akan berpikir seribu kali untuk ikut mencalonkan diri sebagai
pejabat tinggi negara.
“Atas dasar inilah kami akan memohon MK dapat memberikan tafsir atas
keinginan profesi ASN bisa menduduki jabatan puncak pada level
pemerintahan yang ada,” imbuhnya.
Sementara itu, hakim konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi juga menyoroti
tentang unsur netralitas
PNS jika saat mencalonkan diri menjadi pejabat
negara seperti presiden/wakil, gubernur/wakil, bupati/wali kota,
pimpinan dan anggota DPR ketika mencalonkan diri.
Menurutnya, untuk bisa menduduki jabatan tersebut harus melalui
partai politik (parpol). Sementara parpol, menurutnya lagi, bersifat
partisan yang berbeda dengan
PNS yang harus nonpartisan.